Senin, 15 September 2014

Milad

Milad
Karya : @ryu_ritsu
Selasa, 22 April 2014


          Seperti biasa sepulang sekolah, Evi mampir dulu ke masjid Al-Karim yang berada di sebelah sekolahnya, untuk melaksanakan sholat Dzuhur. Prinsipnya sangat kuat, harus sholat di awal waktu, tepat setelah adzan selesai berkumandang.
          Saat berada di depan sekolah, ia berhenti sejenak untuk melihat sesuatu yang sedang terjadi tepat di dekat gerbang samping sekolah. Ia melihat ada beberapa siswi yang sedang melempari seorang siswi dengan tepung dan telur. Evi bergidik melihatnya. Dalam hati ia kesal melihat hal itu. Ulang tahun bukan sesuatu yang harus dirayakan. Apalagi kalau dirayakannya dengan hal mubazir seperti itu.
          “Evi, mau ke masjid ya?” Tiba-tiba Evi mendengar suara yang ia kenal tak jauh dari tempat ia berdiri. Kiki, teman sekelasnya.
          “Eh, iya Ki. Mau ikut?” tanya Evi.
          “Nggak ah, aku mau sholat di rumah aja. Lagian, aku mau ke pasar dulu. Beli titipan Ibu.” jawab Kiki sambil tersenyum.
          “Oh gitu Iya deh.” ujar Evi sambil mengangkat bahunya.
          “Eh Vi, kamu lihat nggak tuh, ada yang lagi dapet sureprise ulang tahun?” tanya Kiki sambil melirik ke arah kumpulan siswi yang sedang pesta terigu.
          “Iya. Mubazir banget deh. Mending terigu sama telornya dibuat dadar.” ujar Evi tenang.
          “Haha. Tapi seru loh, Vi. Artinya ada yang perhatian sama kita.” kata Kiki.
          “Seru gimana? Dosa iya.” celetuk Evi.
          “Duuilee mode Bu Ustadz-nya kambuh lagi euy hehe. Ya udah atuh, aku pamit duluan ya. Sampe ketemu besok.” kata Kiki sambil melanjutkan langkah lebarnya.
          “Hehe. Oke, hati-hati Ki.”
          Setelah Kiki pergi, Evi kembali melanjutkan langkahnya menuju masjid.
* * *
          Pagi ini, Evi baru tiba di kelas. Ia melihat Kiki dan Safia sedang membaca sebuah buku yang agak besar di mejanya.
          “Assalamu’alaikum.” sapa Evi sambil duduk di bangkunya, tidak jauh dari Kiki dan Safia. 
          “Wa’alaikum salam, Evi.” sahut mereka tanpa mengalihkan pandangan dari buku besar itu.
          “Kok pada serius banget? Ada apa sih?” tanya Evi penasaran saat sedang melepas ranselnya dan meletakkannya di bangkunya.
          “Ini lho, Safia disuruh Bu Erna untuk rekap data dari buku ini. Kita mau lihat tanggal lahir anak-anak.” ujar Kiki.
          “Hmm gitu.” kata Evi tanpa mendekati mereka berdua, malah ia segera duduk dan membuka tasnya untuk mengambil buku paketnya.
          Beberapa lama kemudian, Safia bersorak seperti menemukan sesuatu.
          “Hei, hei Ki. Bentar lagi Evi ulang tahun!” seru Safia, membuat Evi mengalihkan pandangannya ke arah Safia dan Kiki.
          “Eh? Mana?” tanya Kiki penasaran, tanpa sadar telah diperhatikan oleh Evi dengan penuh selidik.
          “Nih. Evita Syakira Lubis. 22 April 1996.” jawab Safia sambil menegok ke arah Evi yang wajahnya mulai linglung.
          “Loh memang kenapa kalau bentar lagi aku ulang tahun?” tanya Evi.
          “Ngng... Yang pasti kita minta traktir. Ya kan, Saf?” ujar Kiki sambil terkikik.
          Evi terdiam. Evi sudah bertekad tidak ingin merayakan ulang tahunnya. Ulang tahun bukan sesuatu yang dirayakan. Seharusnya itu jadi hari di mana ia harus bermuhasabbah, dan mengingat kalau usianya berkurang setahun. Bukan untuk bersenang-senang.
          Tapi sulit baginya untuk mejelaskannya pada mereka. Mereka tidak akan mendengar.
          “Cieee yang bentar lagi ulang tahun, dapet traktiran ihiw!” ujar Safia.
          Evi tetap diam.
          “Udah ah jangan godain Evi, nanti mode Bu Ustadz-nya kambuh loh. Udah sana rekap datanya.” kata Kiki sambil berdiri dan berjalan keluar kelas.
          “Loh, katanya mau bantuin aku?! Huh dasar Kikong.” ketus Safia merasa dibohongi.
          Evi menoleh ke arah Safia karena tertarik untuk membantunya.
          “Aku bantuin ya Saf.” kata Evi sambil berdiri dan berjalan mendekati Safia.
          “Eh? Boleh, Vi. Makasih ya.”
          Saat membantu merekap data, tiba-tiba muncul ide di benak Evi untuk memberitahu Safia tentang hari ulang tahunnya.
          “Saf, tolong ya jangan lakukan apapun ke aku pas hari ulang tahunku nanti. Entah itu kasih kado, kejutan atau minta traktiran. Ya?” kata Evi agak pelan.
          “Loh, kok gitu Vi?” tanya Safia heran.
          “Aku nggak suka.” jawab Evi singkat.
          “Oh, gitu. Iya deh Vi. Lagian tadi kita juga bercanda kok.” ujar Safia yang mengerti maksud Evi.
          “Makasih ya Saf.” kata Evi sambil tersenyum.
          “Oke, sama-sama.”
* * *
          Hari sebelum hari ulang tahun Evi.
          “Evi, kamu udah mau pulang belum?” tanya Kiki yang duduk sebangku dengan Evi.
          “Iya, Ki. Aku mau pulang, tapi ke masjid dulu. Ada apa?” tanya Evi.
          “Ooooh, nggaaaak. Cuma mau mastiin aja. Ya udah deh hati-hati ya Evi!” kata Kiki sambil tersenyum.
          Setelah Evi keluar dari kelas untuk pulang, Kiki segera mencegat teman-teman perempuannya untuk tidak keluar kelas terlebih dahulu. Sementara yang laki-laki boleh pulang.
          “Ada apa sih Ki?” sorak siswi sekelas.
          “Besok Evi ulang tahun loooooh! Kasih kejutan yuuuuuk!” seru Kiki di depan kelas.
          “Iya gitu? Yuuuuk!” sahut mereka serempak, kecuali Safia.
          “Kejutan apa Ki?” tanya seorang siswi.
          “Apa ya? Tepung telor kopi yuk!” jawab Kiki bersemangat.
          “Jangan!” seru Safia tiba-tiba, membuat kelas menjadi hening.
          “Kok jangan? Kenapa?” tanya Kiki heran.
          “Nanti Evi marah loh. Evi kan nggak suka digituin.” jawab Safia dengan nada cemas.
          “Ya elah, cuma kejutan kali, kenapa harus marah? Itu kan tanda kita solid sama dia, kita kan temen sekelasnya. Ya nggak sih?” ujar Kiki.
          “Betul tuh kata Kiki!” sahut siswi lain.
          “Duh, aku udah kasih tahu kamu ya. Kalo Evi marah, aku nggak ikutan lho. Pokoknya aku nggak mau ikutan.” kata Safia sambil menggendong tasnya.
          “Kok kamu gitu sih Saf? Nggak ada kebersamaannya!” ketus Kiki kesal.
          Sontak seluruh siswi menyoraki Safia yang hendak keluar dari kelas.
          “Ya udah lah, biarin aja si Safia. Nah sekarang kita mau patungan berapa-berapa buat beli tepung, terigu sama kopi?”
* * *
          Evi merasa aneh. Semua siswi sekelasnya tidak ada yang menyahutinya hari ini, bahkan Kiki yang duduk di sampingnya juga begitu. Hanya Safia yang mau diajak berbicara oleh Evi. Tapi kemarin malam Kiki meminta Safia untuk tidak membocorkan rahasia kejutan  Evi melalui SMS. Dengan terpaksa Safia mengiyakan, ia takut dimusuhi teman-temannya. Membuat Safia bimbang.
          “Saf, kok anak perempuan nggak ada yang nengok ya kalo aku panggil?” tanya Evi pada Safia saat di kantin.
          Safia hanya mengangkat bahu. Pura-pura tidak tahu.
          “Hmm... Jangan-jangan ada hubungannya sama ulang tahun aku hari ini.” keluh Evi sambil meminum es jeruknya.
          Safia hanya diam. Ia takut keceplosan.
          Di jam pelajaran terakhir, tiba-tiba Kiki menyentuh bahu Evi. Ia hendak membisikkan sesuatu.
          “Ada apa Ki?” tanya Evi yang heran tiba-tiba Kiki mengajak bicara.
          “Nanti pulang sekolah temenin aku ke pasar ya. Sekalian aku traktir makan deh.” bisik Kiki.
          “Tapi ke masjid dulu ya.” kata Evi sambil tersenyum.
          “Iya deh,” jawab Kiki sambil kembali ke posisinya semula.
          Sebenarnya Evi merasa curiga dengan sikap Kiki. Namun ia tidak mau berprasangka buruk.
          Jam pelajaran terakhir selesai dengan ditandai bel pulang yang berbunyi. Evi segera mengemasi barang-barangnya dan bersiap menuju masjid Al-Karim.
          Saat Evi hendak keluar kelas, tiba-tiba Kiki berlari mendekati Evi.
          “Evi, jangan cepet-cepet dong, aku kan lagi beres-beres buku.” ujar Kiki agak kesal.
          “Hehe, maaf ya.” kata Evi.
          Mereka berdua berjalan beriringan, namun tiba-tiba Kiki menghentikan langkahnya di dekat gerbang samping.
          “Eh Vi, bentar deh.” ujar Kiki yang sedang berakting.
          “Kenapa Ki?” tanya Evi heran.
          Tiba-tiba Kiki mendorong Evi keluar dari gerbang dengan sekuat tenaga. Siswi yang sudah standby di samping gerbang sisi luar langsung menyiram Evi dengan air larutan kopi sambil berteriak girang.
          Lalu datang lagi siswi lain yang hendak menyiram Evi dengan seperempat kilo tepung dan memecahkan lima butir telur busuk di atas kepala Evi.
          “SELAMAT ULANG TAHUN EVI!!!”
          Evi yang tadi menutup mata dan tidak bisa berbuat apa-apa akhirnya membuka mata. Ia benar-benar terkejut saat melihat kerudung dan seragamnya kotor, basah dan bau. Hatinya kesal dan sangat marah. Dan seketika air matanya mengalir. Bukan karena terharu, tapi karena terlalu marah.
          “Evi? Nangis ya?” tanya Kiki sambil mendekati Evi.
          “Kalian jahat banget sih! Kenapa kalian nyiram aku kayak gini?! Pake telor busuk lagi?! Sekarang gimana aku mau pulang?!” pekik Evi lantang.
          “Kan kamu lagi ulang tahun Vi, wajar kan?” tanya seorang siswi yang berdiri di samping Kiki.
          “Aku nggak suka diginiin! Ulang tahun tuh nggak perlu dirayakan! Kalian harus tahu!” pekik Evi tanpa peduli itu menyinggung hati teman-temannya atau tidak. Emosi sedang menguasai hatinya.
          “Astaghfirullah, aku bener-bener marah sama kalian.” kata Evi sambil berusaha membersihkan kuning telur yang ada di atas kepalanya, dan ia hampir muntah saat mencium baunya.
          “Vi, maafin aku dan temen-temen ya. Sebenarnya Safia udah kasih tahu kita, tapi... Ngng... Ya udah aku anter kamu pake sepeda motor ya?” kata Kiki.
          “Ya udah,” sahut Evi jutek.
          Lalu Kiki pergi ke rumahnya yang tidak jauh dari sekolah. Sementara teman-teman yang lain membantu Evi membersihkan telur busuk yang masih menempel di pakaian Evi.
          Evi benar-benar malu dan kesal diperlakukan seperti itu. Tapi sejujurnya ia sudah memaafkan teman-temannya.
* * *
          Kiki menyusuri koridor sekolah dengan lemas. Ia takut kejadian kemarin membuat Evi membencinya dan tidak mau duduk dengannya lagi. Dan sebenarnya Kiki takut berangkat sekolah, ia takut Evi memakinya seperti kemarin.
          Saat sampai di kelas, ia melihat Evi sedang duduk di bangkunya sambil membaca buku Kimia. Dengan perlahan Kiki melangkahkan kaki ke arah Evi.
          “Ng... Assalamu’alaikum, Evi.” salam Kiki sambil berusaha tersenyum pada Evi.
          “Wa’alaikum salam,” sahut Evi dengan nada datar dan cepat, tanpa mengalihkan pandangannya dari bukunya.
          “Vi, jangan marah dong. Maafin aku ya. Aku nyesel banget.” kata Kiki memohon, sambil menundukkan kepalanya.
          Evi tak bergeming.
          “Vi, please, maafin aku dan temen-temen. Aku bener-bener nyesel.”
          Evi mendongakkan kepalanya untuk melihat Kiki. Ia melihat Kiki tertunduk dan air matanya menggenang di pelupuk matanya. Evi jadi iba dan menghampiri Kiki.
          “Nggak apa-apa kok Ki. Aku udah maafin kamu dan yang lain. Aku juga minta maaf udah marah-marah sama kalian kemarin. Aku bener-bener marah karena kalian nyiram aku pake air yang kotor.” kata Evi sambil merangkul Kiki yang hampir menangis.
          “Makasih ya Evi.” kata Kiki sambil menghapus air matanya yang sudah menetes.
          “Jangan nangis ya Ki.”
          “Aku sadar Vi, yang kemarin itu emang mubazir banget. Kita buang-buang terigu dan kopi. Padahal masih banyak orang di sana yang pengen makan aja susah banget.” kata Kiki tiba-tiba.
          “Alhamdulillah deh kalo kamu sadar. Selain itu, kita nggak perlu ngerayain ulang tahun. Coba deh kita pikir, setiap ulang tahun, umur kita bisa jadi bertambah. Tapi, bukannya kita malah semakin dekat dengan kematian kita? Sebaiknya ulang tahun kita jadikan hari untuk bermuhasabbah, apa yang sudah kita lakukan selama ini? Apakah amal kita selama ini akan mampu menyelamatkan diri kita dari siksa api neraka?”
          Evi akhirnya lega bisa menyampaikan hal itu pada Kiki.
          “Kamu betul Vi. Astaghfirullah, aku bener-bener khilaf kemarin. Maafin aku ya.” kata Kiki sambil tersenyum.
          “Aku udah maafin kamu kok. Aku seneng deh kalo kamu sadar.” kata Evi.
          Tiba-tiba Safia yang baru tiba di kelas langsung menghampiri Evi dan Kiki.
          “Oi ada apa nih pagi-pagi? Ehem, udah damai nih.” celetuk Safia sambil tertawa riang, ciri khasnya.
          “Damai? Emangnya...?”
          “Iya, Vi. Semalem Kiki curhat sama aku lewat SMS. Ampun deh, dia sampe nangis-nangis gitu pas aku telpon. Aku suruh aja dia minta maaf sama kamu. Alhamdulillah deh kalo kamu mau maafin Kiki. Padahal tadinya aku pengen SMS kamu untuk nggak maafin Kiki, supaya ada perang gitu di kelas.” gurau Safia.
          “Iiih Safia!” geram Kiki sambil mencubit Safia dengan jenaka.
          “Ampuuun Kikooong, ampuuun...”
          Evi tertawa melihat tingkah lucu kedua temannya yang saling mencubit.

* * *


0 komentar:

Posting Komentar