Milad
Karya : @ryu_ritsu
Selasa, 22 April 2014
Seperti
biasa sepulang sekolah, Evi mampir dulu ke masjid Al-Karim yang berada di
sebelah sekolahnya, untuk melaksanakan sholat Dzuhur. Prinsipnya sangat kuat,
harus sholat di awal waktu, tepat setelah adzan selesai berkumandang.
Saat
berada di depan sekolah, ia berhenti sejenak untuk melihat sesuatu yang sedang
terjadi tepat di dekat gerbang samping sekolah. Ia melihat ada beberapa siswi
yang sedang melempari seorang siswi dengan tepung dan telur. Evi bergidik
melihatnya. Dalam hati ia kesal melihat hal itu. Ulang tahun bukan sesuatu yang
harus dirayakan. Apalagi kalau dirayakannya dengan hal mubazir seperti itu.
“Evi,
mau ke masjid ya?” Tiba-tiba Evi mendengar suara yang ia kenal tak jauh dari
tempat ia berdiri. Kiki, teman sekelasnya.
“Eh,
iya Ki. Mau ikut?” tanya Evi.
“Nggak
ah, aku mau sholat di rumah aja. Lagian, aku mau ke pasar dulu. Beli titipan
Ibu.” jawab Kiki sambil tersenyum.
“Oh
gitu Iya deh.” ujar Evi sambil mengangkat bahunya.
“Eh
Vi, kamu lihat nggak tuh, ada yang lagi dapet sureprise ulang tahun?” tanya Kiki sambil melirik ke arah kumpulan
siswi yang sedang pesta terigu.
“Iya.
Mubazir banget deh. Mending terigu sama telornya dibuat dadar.” ujar Evi
tenang.
“Haha.
Tapi seru loh, Vi. Artinya ada yang perhatian sama kita.” kata Kiki.
“Seru
gimana? Dosa iya.” celetuk Evi.
“Duuilee
mode Bu Ustadz-nya kambuh lagi euy hehe. Ya udah atuh, aku pamit duluan ya.
Sampe ketemu besok.” kata Kiki sambil melanjutkan langkah lebarnya.
“Hehe.
Oke, hati-hati Ki.”
Setelah
Kiki pergi, Evi kembali melanjutkan langkahnya menuju masjid.
*
* *
Pagi
ini, Evi baru tiba di kelas. Ia melihat Kiki dan Safia sedang membaca sebuah
buku yang agak besar di mejanya.
“Assalamu’alaikum.”
sapa Evi sambil duduk di bangkunya, tidak jauh dari Kiki dan Safia.
“Wa’alaikum
salam, Evi.” sahut mereka tanpa mengalihkan pandangan dari buku besar itu.
“Kok
pada serius banget? Ada apa sih?” tanya Evi penasaran saat sedang melepas
ranselnya dan meletakkannya di bangkunya.
“Ini
lho, Safia disuruh Bu Erna untuk rekap data dari buku ini. Kita mau lihat
tanggal lahir anak-anak.” ujar Kiki.
“Hmm
gitu.” kata Evi tanpa mendekati mereka berdua, malah ia segera duduk dan
membuka tasnya untuk mengambil buku paketnya.
Beberapa
lama kemudian, Safia bersorak seperti menemukan sesuatu.
“Hei,
hei Ki. Bentar lagi Evi ulang tahun!” seru Safia, membuat Evi mengalihkan
pandangannya ke arah Safia dan Kiki.
“Eh?
Mana?” tanya Kiki penasaran, tanpa sadar telah diperhatikan oleh Evi dengan
penuh selidik.
“Nih.
Evita Syakira Lubis. 22 April 1996.” jawab Safia sambil menegok ke arah Evi
yang wajahnya mulai linglung.
“Loh
memang kenapa kalau bentar lagi aku ulang tahun?” tanya Evi.
“Ngng...
Yang pasti kita minta traktir. Ya kan, Saf?” ujar Kiki sambil terkikik.
Evi
terdiam. Evi sudah bertekad tidak ingin merayakan ulang tahunnya. Ulang tahun
bukan sesuatu yang dirayakan. Seharusnya itu jadi hari di mana ia harus
bermuhasabbah, dan mengingat kalau usianya berkurang setahun. Bukan untuk
bersenang-senang.
Tapi
sulit baginya untuk mejelaskannya pada mereka. Mereka tidak akan mendengar.
“Cieee
yang bentar lagi ulang tahun, dapet traktiran ihiw!” ujar Safia.
Evi
tetap diam.
“Udah
ah jangan godain Evi, nanti mode Bu Ustadz-nya kambuh loh. Udah sana rekap
datanya.” kata Kiki sambil berdiri dan berjalan keluar kelas.
“Loh,
katanya mau bantuin aku?! Huh dasar Kikong.” ketus Safia merasa dibohongi.
Evi
menoleh ke arah Safia karena tertarik untuk membantunya.
“Aku
bantuin ya Saf.” kata Evi sambil berdiri dan berjalan mendekati Safia.
“Eh?
Boleh, Vi. Makasih ya.”
Saat
membantu merekap data, tiba-tiba muncul ide di benak Evi untuk memberitahu
Safia tentang hari ulang tahunnya.
“Saf,
tolong ya jangan lakukan apapun ke aku pas hari ulang tahunku nanti. Entah itu
kasih kado, kejutan atau minta traktiran. Ya?” kata Evi agak pelan.
“Loh,
kok gitu Vi?” tanya Safia heran.
“Aku
nggak suka.” jawab Evi singkat.
“Oh,
gitu. Iya deh Vi. Lagian tadi kita juga bercanda kok.” ujar Safia yang mengerti
maksud Evi.
“Makasih
ya Saf.” kata Evi sambil tersenyum.
“Oke,
sama-sama.”
*
* *
Hari
sebelum hari ulang tahun Evi.
“Evi,
kamu udah mau pulang belum?” tanya Kiki yang duduk sebangku dengan Evi.
“Iya,
Ki. Aku mau pulang, tapi ke masjid dulu. Ada apa?” tanya Evi.
“Ooooh,
nggaaaak. Cuma mau mastiin aja. Ya udah deh hati-hati ya Evi!” kata Kiki sambil
tersenyum.
Setelah
Evi keluar dari kelas untuk pulang, Kiki segera mencegat teman-teman
perempuannya untuk tidak keluar kelas terlebih dahulu. Sementara yang laki-laki
boleh pulang.
“Ada
apa sih Ki?” sorak siswi sekelas.
“Besok
Evi ulang tahun loooooh! Kasih kejutan yuuuuuk!” seru Kiki di depan kelas.
“Iya
gitu? Yuuuuk!” sahut mereka serempak, kecuali Safia.
“Kejutan
apa Ki?” tanya seorang siswi.
“Apa
ya? Tepung telor kopi yuk!” jawab Kiki bersemangat.
“Jangan!”
seru Safia tiba-tiba, membuat kelas menjadi hening.
“Kok
jangan? Kenapa?” tanya Kiki heran.
“Nanti
Evi marah loh. Evi kan nggak suka digituin.” jawab Safia dengan nada cemas.
“Ya
elah, cuma kejutan kali, kenapa harus marah? Itu kan tanda kita solid sama dia,
kita kan temen sekelasnya. Ya nggak sih?” ujar Kiki.
“Betul
tuh kata Kiki!” sahut siswi lain.
“Duh,
aku udah kasih tahu kamu ya. Kalo Evi marah, aku nggak ikutan lho. Pokoknya aku
nggak mau ikutan.” kata Safia sambil menggendong tasnya.
“Kok
kamu gitu sih Saf? Nggak ada kebersamaannya!” ketus Kiki kesal.
Sontak
seluruh siswi menyoraki Safia yang hendak keluar dari kelas.
“Ya
udah lah, biarin aja si Safia. Nah sekarang kita mau patungan berapa-berapa
buat beli tepung, terigu sama kopi?”
*
* *
Evi
merasa aneh. Semua siswi sekelasnya tidak ada yang menyahutinya hari ini,
bahkan Kiki yang duduk di sampingnya juga begitu. Hanya Safia yang mau diajak
berbicara oleh Evi. Tapi kemarin malam Kiki meminta Safia untuk tidak
membocorkan rahasia kejutan Evi melalui
SMS. Dengan terpaksa Safia mengiyakan, ia takut dimusuhi teman-temannya.
Membuat Safia bimbang.
“Saf,
kok anak perempuan nggak ada yang nengok ya kalo aku panggil?” tanya Evi pada
Safia saat di kantin.
Safia
hanya mengangkat bahu. Pura-pura tidak tahu.
“Hmm...
Jangan-jangan ada hubungannya sama ulang tahun aku hari ini.” keluh Evi sambil
meminum es jeruknya.
Safia
hanya diam. Ia takut keceplosan.
Di
jam pelajaran terakhir, tiba-tiba Kiki menyentuh bahu Evi. Ia hendak
membisikkan sesuatu.
“Ada
apa Ki?” tanya Evi yang heran tiba-tiba Kiki mengajak bicara.
“Nanti
pulang sekolah temenin aku ke pasar ya. Sekalian aku traktir makan deh.” bisik
Kiki.
“Tapi
ke masjid dulu ya.” kata Evi sambil tersenyum.
“Iya
deh,” jawab Kiki sambil kembali ke posisinya semula.
Sebenarnya
Evi merasa curiga dengan sikap Kiki. Namun ia tidak mau berprasangka buruk.
Jam
pelajaran terakhir selesai dengan ditandai bel pulang yang berbunyi. Evi segera
mengemasi barang-barangnya dan bersiap menuju masjid Al-Karim.
Saat
Evi hendak keluar kelas, tiba-tiba Kiki berlari mendekati Evi.
“Evi,
jangan cepet-cepet dong, aku kan lagi beres-beres buku.” ujar Kiki agak kesal.
“Hehe,
maaf ya.” kata Evi.
Mereka
berdua berjalan beriringan, namun tiba-tiba Kiki menghentikan langkahnya di
dekat gerbang samping.
“Eh
Vi, bentar deh.” ujar Kiki yang sedang berakting.
“Kenapa
Ki?” tanya Evi heran.
Tiba-tiba
Kiki mendorong Evi keluar dari gerbang dengan sekuat tenaga. Siswi yang sudah standby di samping gerbang sisi luar
langsung menyiram Evi dengan air larutan kopi sambil berteriak girang.
Lalu
datang lagi siswi lain yang hendak menyiram Evi dengan seperempat kilo tepung
dan memecahkan lima butir telur busuk di atas kepala Evi.
“SELAMAT
ULANG TAHUN EVI!!!”
Evi
yang tadi menutup mata dan tidak bisa berbuat apa-apa akhirnya membuka mata. Ia
benar-benar terkejut saat melihat kerudung dan seragamnya kotor, basah dan bau.
Hatinya kesal dan sangat marah. Dan seketika air matanya mengalir. Bukan karena
terharu, tapi karena terlalu marah.
“Evi?
Nangis ya?” tanya Kiki sambil mendekati Evi.
“Kalian
jahat banget sih! Kenapa kalian nyiram aku kayak gini?! Pake telor busuk lagi?!
Sekarang gimana aku mau pulang?!” pekik Evi lantang.
“Kan
kamu lagi ulang tahun Vi, wajar kan?” tanya seorang siswi yang berdiri di
samping Kiki.
“Aku
nggak suka diginiin! Ulang tahun tuh nggak perlu dirayakan! Kalian harus tahu!”
pekik Evi tanpa peduli itu menyinggung hati teman-temannya atau tidak. Emosi
sedang menguasai hatinya.
“Astaghfirullah,
aku bener-bener marah sama kalian.” kata Evi sambil berusaha membersihkan
kuning telur yang ada di atas kepalanya, dan ia hampir muntah saat mencium
baunya.
“Vi,
maafin aku dan temen-temen ya. Sebenarnya Safia udah kasih tahu kita, tapi...
Ngng... Ya udah aku anter kamu pake sepeda motor ya?” kata Kiki.
“Ya
udah,” sahut Evi jutek.
Lalu
Kiki pergi ke rumahnya yang tidak jauh dari sekolah. Sementara teman-teman yang
lain membantu Evi membersihkan telur busuk yang masih menempel di pakaian Evi.
Evi
benar-benar malu dan kesal diperlakukan seperti itu. Tapi sejujurnya ia sudah
memaafkan teman-temannya.
*
* *
Kiki
menyusuri koridor sekolah dengan lemas. Ia takut kejadian kemarin membuat Evi
membencinya dan tidak mau duduk dengannya lagi. Dan sebenarnya Kiki takut
berangkat sekolah, ia takut Evi memakinya seperti kemarin.
Saat
sampai di kelas, ia melihat Evi sedang duduk di bangkunya sambil membaca buku
Kimia. Dengan perlahan Kiki melangkahkan kaki ke arah Evi.
“Ng...
Assalamu’alaikum, Evi.” salam Kiki sambil berusaha tersenyum pada Evi.
“Wa’alaikum
salam,” sahut Evi dengan nada datar dan cepat, tanpa mengalihkan pandangannya
dari bukunya.
“Vi,
jangan marah dong. Maafin aku ya. Aku nyesel banget.” kata Kiki memohon, sambil
menundukkan kepalanya.
Evi
tak bergeming.
“Vi,
please, maafin aku dan temen-temen.
Aku bener-bener nyesel.”
Evi
mendongakkan kepalanya untuk melihat Kiki. Ia melihat Kiki tertunduk dan air
matanya menggenang di pelupuk matanya. Evi jadi iba dan menghampiri Kiki.
“Nggak
apa-apa kok Ki. Aku udah maafin kamu dan yang lain. Aku juga minta maaf udah
marah-marah sama kalian kemarin. Aku bener-bener marah karena kalian nyiram aku
pake air yang kotor.” kata Evi sambil merangkul Kiki yang hampir menangis.
“Makasih
ya Evi.” kata Kiki sambil menghapus air matanya yang sudah menetes.
“Jangan
nangis ya Ki.”
“Aku
sadar Vi, yang kemarin itu emang mubazir banget. Kita buang-buang terigu dan
kopi. Padahal masih banyak orang di sana yang pengen makan aja susah banget.”
kata Kiki tiba-tiba.
“Alhamdulillah
deh kalo kamu sadar. Selain itu, kita nggak perlu ngerayain ulang tahun. Coba
deh kita pikir, setiap ulang tahun, umur kita bisa jadi bertambah. Tapi,
bukannya kita malah semakin dekat dengan kematian kita? Sebaiknya ulang tahun
kita jadikan hari untuk bermuhasabbah, apa yang sudah kita lakukan selama ini?
Apakah amal kita selama ini akan mampu menyelamatkan diri kita dari siksa api
neraka?”
Evi
akhirnya lega bisa menyampaikan hal itu pada Kiki.
“Kamu
betul Vi. Astaghfirullah, aku bener-bener khilaf kemarin. Maafin aku ya.” kata
Kiki sambil tersenyum.
“Aku
udah maafin kamu kok. Aku seneng deh kalo kamu sadar.” kata Evi.
Tiba-tiba
Safia yang baru tiba di kelas langsung menghampiri Evi dan Kiki.
“Oi
ada apa nih pagi-pagi? Ehem, udah damai nih.” celetuk Safia sambil tertawa
riang, ciri khasnya.
“Damai?
Emangnya...?”
“Iya,
Vi. Semalem Kiki curhat sama aku lewat SMS. Ampun deh, dia sampe nangis-nangis
gitu pas aku telpon. Aku suruh aja dia minta maaf sama kamu. Alhamdulillah deh
kalo kamu mau maafin Kiki. Padahal tadinya aku pengen SMS kamu untuk nggak
maafin Kiki, supaya ada perang gitu di kelas.” gurau Safia.
“Iiih
Safia!” geram Kiki sambil mencubit Safia dengan jenaka.
“Ampuuun
Kikooong, ampuuun...”
Evi
tertawa melihat tingkah lucu kedua temannya yang saling mencubit.